Semakin jauh ku melangkah kian terasa besar harapku pada-MU

semakin tinggi ku mendaki kian terasa kecil adanya diriku

semakin dalam ku menyelam kian terasa sesal basahkan hatiku

Engkau tak terlihat, karena ku tak pantas melihat-MU

cukuplah karya cipta-MU, mengejawantahkan kuasa-MU

menundukkan sombongku, menakhlukkan egoku

Maafkan perasaan tinggiku yang sesungguhnya rendah

Maafkan pakaian mewahku yang sesungguhnya hina

Maafkan pamer materiku yang sesungguhnya fakir

Maafkan hamba ini..

Saturday, May 8, 2010

MENCINTAI DENGAN TULUS, MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN.

Cinta untuk dimiliki.

Ketika seseorang berbicara tentang cinta, maka apa yang sebetulnya sedang bercokol dalam hatinya adalah untuk dicintai.
Kalaupun ia mencoba mencintai seseorang, maka itu hanyalah agar dicintai. Ia mencintai untuk dicintai, sebagai balasannya. Dan bilamana ternyata yang dicintainya itu tidak membalasnya, maka ia akan sangat mudah berubah, bahkan berbalik membenci. Ia merasa kecewa, direndahkan, disepelekan, tidak dihargai, ditolak, ditampik, terhina atau sejenisnya. Yang tadinya ia sangka sebagai prilaku mencintai, kini telah berubah sama sekali. Kini ia berubah menjadi benci, bahkan dendam.

Apa yang sesungguhnya terjadi padanya? Apakah ia memang benar- benar mencintai orang, yang konon tadinya ia cintai itu? Ternyata tidak. Bukan karena ia kini membenci atau mendendam, namun karena keinginannya untuk memiliki, menguasai, mengangkangi bagi dirinya sendiri. Yang ada ketika itu sebetulnya samasekali bukan cinta.

Saya kira Anda pernah mendengar kata-kata indah: "Cinta bukanlah untuk memiliki, namun untuk dimiliki." Anda boleh menyetujuinya atau tidak; akan tetapi, bilamana Anda benar-benar dapat menghadirkan sikap batin demikian, itu memang mampu membahagiakan. Dengan membiarkan diri untuk dimiliki tanpa merasa perlu memiliki.

Mencintai ataupun membenci seseorang atau sekelompok orang sepenuhnya ada dalam kewenangan Anda bukan? Anda tak dapat dipaksa untuk mencintai siapapun, kecuali hanya berpura-pura saja. Demikian pula orang lain; tak seorangpun dapat kita paksa untuk mencintai kita. Bila Anda benar-benar mencintai seseorang atau sekelompok orang, Anda tak perlu peduli apakah ia atau mereka mencintai Anda atau tidak. Anda hanya mencintainya. Itu saja. Sama sekali tidak ada urusannya dengan masalah kepemilikan, masalah memiliki, menguasai, mengangkangi.

Bila kita benar-benar dapat mencintai tanpa disertai atau dimotivasi keinginan yang kuat untuk memiliki, maka kita bisa merasakan kebahagiaan dari mencintai.Sebaliknya, kita hanya mengundang kepedihan, kesengsaraan. Ketulusan dalam mencintai itulah yang membahagiakan. Bukan balasan yang kita terima. Dalam ketulusan, tiada harapan, hasrat atau keinginan untuk menerima sesuatu sebagai imbalan. Dalam ketulusan, yang ada hanyalah sikap batin memberi dengan sukarela, dengan ikhlas. Itulah yang membahagiakan. Dan, itu pertanda bahwa cinta yang Anda berikan murni adanya.

Sesungguhnya, kita tidak pernah layak untuk dicintai bila belum siap untuk mencintai. Adalah keliru memandang dicintai sebagai hak, sementara tak merasa wajib untuk mencintai. Kewajiban semestinya selalu mesti didahulukan. Apakah kewajiban itu mensyaratkan kerja fisik, kerja verbal, kerja perasaan ataupun kerja pikiran, ia tetap mesti didahulukan.

Cinta tidak menyengsarakan siapapun.

Kepemilikan, ketergantungan, kemelekatan pada yang dicintai, itulah yang menyengsarakan. Ada ungkapan bijak yang
mengatakan: "Pada yang Anda cintailah kesengsaraan Anda tersembunyi." Namun jangan salah. Bukan cinta itu yang menyengsarakan. Tidaklah tepat bila ada yang menyangka dirinya `sengsara karena cinta'. Cinta tak pernah dan tak akan pernah menyengsarakan siapa-siapa.

Kepemilikan, ketergantungan dan kemelakatan kitalah yang menyengsarakan. Disanalah kesengsaraan bersembunyi. Keinginan untuk memiliki yang dicintai, tergantung pada balasan setimpal dari yang dicintai dan karenanya melekat padanya, merupakan sumber-sumber kesengsaraan itu.

Sebaliknya, mungkin Anda cukup beruntung, memperoleh tanggapan yang setimpal dari yang dicintai. Dicintai oleh seseorang yang Anda cintai, bisa dibilang suatu keberuntungan. Akan tetapi, bila Anda memang benar-benar mencintainya dengan tulus, Anda tetap merasa bahagia. Kebahagiaan yang diperoleh dari mencintai dengan tulus tidak tergantung pada apakah Anda dicintai atau tidak.
Kembali harus kita akui bahwa, kebahagiaan hanya tergantung pada tindak mencintai saja, pada ketulus-ikhlasan itu saja.

Kita bukan Robot Emosi.

Pada dasarnya, tak seorangpun suka diikat, dibelenggu, atas dalih cinta sekalipun. Manusia mewarisi kehendak bebas. Keterikatan, ketergantungan ataupun belenggu merampas kebebasan; dan bersamaan dengan itu pula, kebahagiaan-pun beranjak pergi darinya. Konyolnya, kita seringkali menggunakan cinta sebagai pengikat dan pembelenggu siapa saja atau apa saja yang kita cintai. Kita ingin memiliki, medominasi yang kita cintai. Disinilah titik persoalannya.

Anda bisa berbahagia dengan mencintai profesi yang Anda tekuni selama ini, misalnya. Akan tetapi, bila kecintaan Anda pada profesi mulai bergeser kepada pemburuan atau penimbunan uang, kepada penghasilan yang Anda peroleh dari menjalani profesinya, atau kepada kemasyuran, penghormatan dan pemuliaan, Anda mesti siap- siap untuk melepaskan kebahagiaan itu lagi. Karena Anda telah mengarahkan diri Anda ke dalam perangkap perbudakan yang Anda ciptakan sendiri. Perbudakan inilah yang menjauhkan kita dari kebahagiaan. Jadi, tidaklah terlampau ceroboh bila kita mengatakan bahwa, kebahagiaan —dalam kaitannya dengan cinta— tergantung pada seberapa konsisten kita mempertahankan ketulusan pada `hanya mencintai'.

Mencintai memang bukan memiliki. Mencintai dan memiliki adalah dua hal yang sama sekali berbeda; sayangnya, bagi sebagian besar orang mereka sulit dipisahkan secara emosional. Ketika cinta kita bersambut, rasa kepemilikan segera menyertainya. Ketika rasa memiliki timbul, maka `hanya mencintai' sirna. Ia berubah, dan kitalah yang telah merubahnya secara emosional. Degradasi ini seakan- akan ada di luar kendali kita. Ia seolah-olah berjalan secara otomatis.

Menjadi `lepas kendali' merupakan persoalan laten kita yang lainnya; walaupun kita tahu kalau sesungguhnya tidak harus berjalan terkendali. Kita tidak harus dikendalikan oleh perasaan atau emosi; kita tak harus bertindak secara otomatis, hanya atas dorongan emosi, karena kita bukanlah `mesin emosi', kita bukan `robot emosi'. Pada dasarnya, kita bukanlah emosi itu.

Jangan mau dihambat oleh persoalan laten!

Apa yang juga teramati disini adalah persoalan laten —yakni identifikasi-diri. Indentifikasi-diri pada perasaan, pada emosi adalah fenomena umum bagi kita, disamping identifikasi-diri pada raga ini.

Kedua bentuk identifikasi-diri ini sebetulnya sudah cukup baik bila dibandingkan dengan identifikasi-diri pada peran-peran, pada profesi, atribut-atribut yang dikenakan orang pada diri kita.
Identifikasi-diri pada atribut-atribut yang dikenakan orang-orang bisa amat menyiksa, amat menyengsarakan. Fenomena mental ini dapat Anda amati dengan jelas pada orang-orang yang sering
berkata: "Ah...apa nanti kata orang." Ini sungguh berbahaya, sungguh fatal akibatnya. Anda bukanlah apa yang orang katakan tentang Anda. Kebahagiaan maupun penderitaan Anda samasekali tidak tergantung pada `apa kata orang'. Jati-diri Anda tidak tertumpu disana, pada mulut-mulut setiap orang. Bila fenomena ini kebetulan benar-benar terjadi pada Anda, maka segeralah sadari dan akhiri!

Kembali pada cinta dan kepemilikan. Mencintai tak-perlu memiliki. Kepemilikan hanya akan menodai cinta Anda. Mencintai atau menyayangi dengan tulus, menghadirkan kebahagiaan. Bila Anda siap menyikapinya demikian, Anda segera akan menemukan kebahagiaan dari `hanya mencintai'. Bila tidak, Anda hanya akan menebar jala kesengsaraan.